Resensi Buku Sekolah di Bubarkan Saja!
Buku karya chu-diel ini merupakan catatan kehidupannya saat beraktivitas di berbagai pelosok negeri. Ia menceritakan tentang kecacatan sistem pendidikan Indonesia yang hanya bisa mengajar teori buta namun tak bisa mendidik tentang realita. Karena buku ini diraup berdasarkan catatan kehidupannya chu-diel, bahasanya dan juga pembahasannya mudah dimengerti oleh orang yang juga tidak berlatar belakang guru. 99 % dari buku ini dirangkai dengan sub-bab-sub bab yang membahas tentang kecacatan pendidikan Indonesia, sedangkan 1% dari buku ini membahas tentang solusi yang ditawarkan oleh chu-diel sendiri tentang permasalah yang sudah dipaparkannya tersebut.
![]() |
Buku sekolah dibubarkan saja! |
Masalah-masalah
pendidikan yang dipaparkan oleh chu-diel sendiri salah satunya adalah bagaimana
seorang murid sekolah dasar putus sekolah karena menganggap sekolah tak bisa
mengajarkan apa yang ia butuhkan, chu diel menamai sub-bab ini dengan sebutan
anak beruntung. Beruntung karena anak ini bisa memahami bakatnya pada usia
dini, dan memilih memutus sekolah karena sekolah tak bisa mengajarkan/mendidik
bakatnya ini.
Sub bab anak
beruntung ini dilanjutkan oleh sub bab yang berjudul sekolah dibubarkan saja,
bab ini menceritakan tentang bagaimana murid-murid di sekolah pada akhirnya
juga harus ke bimbel karena sekolah mereka tak bisa memberikan pemahaman.
Kepencundangan sekolah pada bab ini makin terlihat, memang pembaca yang
berlatar belakang guru seperti saya agak kurang setuju dengan chu-diel, karena
berpikir jika tak ada sekolah dimana juga anak-anak Indonesia akan menempuh
pendidikan mereka. Tapi, buku ini rupanya makin mempaparkan fakta-fakta
kecacatan sistem pendidikan pada sub bab-sub bab berikutnya, yang mau tak mau
harus kita hadapi kalau sekolah memang gagal mendidik anak-anak Indonesia.
Seperti pada bab
“sistem pendidikan Indonesia itu aneh” yang membahas tentang bagaimana seorang
anak sma mengalami kecurangan saat menghadapi ujian nasional, bab “sekolah
membunuh minat siswa” membahas tentang bagaimana sekolah hanya mensortir murid
ke dua bagian yaitu IPA dan IPS, kemudian bab “orang miskin dilarang masuk
sekolah” membahas tentang bagaimana sekolah memiliki wajah ganda terhadap orang
miskin yang bersekolah.
Dari kesuluran
bab, yang paling saya suka adalah bab “pesta pora yang menyedihkan”, dimana
chu-diel mempaparkan hasil interviewnya dengan seorang siswa sma yang harus
membayar 10 juta rupiah untuk membeli kunci jawaban ujian nasional. Sebuah
pemaparan luar biasa dan sangat bermakna bagi murid-murid di luar sana yang
mungkin masih bingung tentang bagaimana mereka bisa mendapat kunci jawaban
ujian nasional secara gratis, dan juga bagi kita para guru yang mungkin tidak
tahu sistem kecurangan ujian nasional ini.
Buku ini
sebenarnya hanya bertujuan untuk mempaparkan alasan-alasan efektif mengapa
sekolah harus dibubarkan, jadi, chu-diel tidak memfokuskan pembahasannya pada
solusi.
Namun, ada juga
solusi yang dipaparkan oleh chu-diel, solusi yang sebenarnya sudah banyak kita
dengar-dengar pada pakar-pakar pendidikan. Solusi-solusinya berupa tiga buah
teori, teori pertama yaitu berasal dari karya Tetsuko Kuroyanagi, sebuah teori
bagaimana seorang kepala sekolah tidak menjadikan muridnya sebagai objek
pendidikan melainkan subjek pendidikan. Teori yang kedua yaitu teori yang
berasal dari seorang psikolog yang bernama Kurt Lewin, ia menyatakan kalau
proses belajar mengajar yang baik itu melingkupi tiga aspek, yaitu aspek
pengetahuan, afektif, dan psikomotorik. Kemudian, teori yang terakhir berasal
dari Malcolm S. Knowles yang menyatakan kalau proses belajar mengajar yang baik
itu harus melibatkan respect, immediacy, dan juga relevansi.
Comments
Post a Comment